De Kock menjauhkannya dari peradaban
pasca perang Jawa. Perang yang menaikkan citranya, dari sekedar
bangsawan Mataram, menjadi messiah tanah Jawa. Memimpin perlawanan
terbesar sepanjang sejarah kolonialisme Hindia Belanda di tanah Jawa,
Sekaligus perang yang menghabiskan pundi-pundi kerajaan Belanda. Selama
perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan
20 juta gulden. Sedangkan hampir separuh masyarakat Yogya berkurang
dalam kurun 5 tahun peperangan.
Pangeran Diponegoro bernama asli
pangeran Ontowiryo. Bangsawan kraton sekaligus berdarah ulama. Ibunya,
Raden Ayu Mangkarawati, keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang
sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram.
Meskipun ditawari menjadi raja oleh ayahnya, Diponegoro lebih tertarik
pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo,
tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng,
daripada di keraton. Disanalah Ontowiryo muda dibesarkan dalam
kesederhanaan tradisi pesantren yang sarat dengan nilai budi dan
kemanusiaan.
Kini telah 158 tahun meninggalnya
Diponegoro. Nama yang pernah menggetarkan tanah Jawa sepanjang 350 tahun
kolonialisme Belanda ini hampir tak pernah terusik namanya. Makamnya
yang jauh dari tanah lahirnya memungkinkan orang cepat melupakannya. Dia
pernah diusik oleh puisi Chairil Anwar dan film yang diangkat di era
ORBA. Setelah itu hanya sayup-sayup terdengar diantara lintasan buku
sejarah atau nama jalan.
Diponegoro sunyi. Pahlawan, sering
sendiri. Mereka bertahta kemenangan, tapi sepi dalam kesendirian peran.
Mereka di puncak tanpa teman. Tersisih dari peran kebanyakan. Sedikit
sekali tulisan yang menggambarkaan saat-saat terakhir pangeran Goa
Selarong ini. Orang hanya tahu pengkhianatan De kock mengakhiri
kebebasan Diponegoro.
Namun di beberapa pesantren tua, namanya
masih sering disebut. Setidaknya setiap pergantian tahun, dimana buku
kelas akhir memuat sejarah pesantren, maka nama Diponegoro melekat kuat
begitu saktinya. Dari pesantren kembali ke pesantren, demikian semangat
historis sang messiah ini. Tak banyak diketahui bagaimana para ulama dan
kyai menjadi elemen penting pengikut Diponegoro. Padahal masa
sebelumnya ulama dan keraton berbatas garis demarkasi gara-gara
kedekatan keraton dengan kolonial yang dicap kafir. Dari penemuan Carey,
diketahui pengikut Diponegoro terdiri dari berbagai elemen. Di samping
prajurit yang dilatih militer, pasukan juga terdiri dari kyai dan ulama
yang notabene mempunyai kemampuan ilmu kanuragan. Dalam naskah Jawa dan
Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu
yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.
Yang menarik diungkap adalah perjuangan
para ulama pasca perang Jawa tersebut. Beberapa pondok pesantren tua di
Jawa, terutama Jawa Timur menyimpan kronik-kronik sejarah ini. Di
Magetan, terdapat masjid kuno peninggalan pengikut Diponegoro yakni
masjid KH Abdurrahman yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen,
Kecamatan Nguntoronadi. Seperti namanya, masjid KH Abdurahman didirikan
oleh KH Abdurrahman pada tahun 1835 Masehi. “Waktu itu setelah kalah
perang melawan penjajah Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini
menyebar dan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat pendidikan
dan perjuangan termasuk di masjid ini,” jelas keturunan kelima KH
Abdurrahman, KH Gunawan Hanafi.
Halnya sejarah pondok Tambakberas
Jombang, juga tak bisa dilepaskan dari keterkaitan historis dengan
perang Diponegoro. Sebab pendiri dan pembabat alas desa dan Pondok
Tambakberas, kyai Abdus Salam atau lebih dikenal dengan sebutan mbah
Soihah adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro.
Pada akhir perang, para kyai pengikut
Pangeran Diponegoro berkumpul dan bersepakat untuk merubah arah
perjuangan mereka. Dari perang fisik menjadi perjuangan di bidang
pendidikan. Mereka berpencar untuk menyebarkan pendidikan Islam di
berbagai penjuru mata angin. Satu komitmen mereka adalah adanya penanda
di lokasi masing-masing sebagai perwujudan semangat persatuan dan
perlawanan terhadap kemungkaran. Penanda itu adalah adanya 2 pohon sawo
di depan tinggal masing-masing. Pohon sawo ini adalah filosofi dari
kalimat “sawwu sufufakum” yang artinya” rapatkan barisanmu”.
Dari beberapa padepokan kecil,
berkembang pesantren-pesantren tua di Jawa seperti pondok Pabelan
Magelang, pondok Sabilil Muttaqin, Takeran, Magetan, pondok Hidayatuth
Thullab Trenggalek, dan tentu saja pondok Tambakberas Jombang. Tak
terhitung ribuan santri yang menjadi alumni dan kelak seharusnya
meneruskan perjuangan Diponegoro, melawan penindasan dan kemungkaran.
Karena begitulah semangat seharusnya diwariskan. (dari berbagai sumber).