Ketika
zaman dahulu hidup lah seorang wanita yang bernama nyi mas gandasari. Beliau
berasal dari indramayu, pada zaman itu nyi mas gandasari menyempatkan dirinya
singgah di suatu tempat. Beliau beristirahat di daerah tersebut dengan membawa
berbagai perlengkapan perjalannya. Dengan perlengkapan yang banyak dimuat dalam
suatu wadah yang sederhana namun dapat memuat semua perlengkapannya. Beliau
mengeluarkan semua isi yang ada didalam wadah tersebut. Dan disaat itu lah
daerah tersebut dinamakan desa “kempek” yang asalnya dari wadah (kandek) yang
dimiliki oleh nyimas gandasari.
Pada
tahun 1408 berdiri sebuah Pesantren yang berada di sebuah desa yaitu Kempek.
Pesantren ini didirikan oleh seorang ulama besar yang barnama Mbah Kyai Harun
yang merupakan salah satu putra dari Mbah Kyai Abdul Jalil yang bertempat
tinggal di kedongdong anak dari
Mbah Kyai Mardan Pekalongan.
Mbah Kyai Harun ditinggal wafat oleh ayahandanya ketika masih remaja.
kemudian Ibundanyalah yang menghidupi dan membiayai pendidikan beliau dalam keadaan
seadanya. Mbah Kyai Harun dikenal dengan dua nama, yaitu nama Harun sebagai
nama asli beliau dan Sholeh sebagai nama resmi Haji beliau, setelah pulang dari ibadah haji beliau selalu menuliskan nama Sholeh disetiap koleksi
kitab-kitabnya.
Mbah Kyai Harun menikah dengan dua wanita yaitu Nyai Mutimmah
dan Nyai Ummi Laila. Dari dua orang istri tersebut lahirlah putra-putri beliau
yang pada perkembangan kelak menjadi penerus Pondok Pesantren kempek.
Hasil dari
pernikahan Mbah Kyai Harun dengan Nyai Mutimmah dianugrahi 5 orang putra-putri,
yaitu:
1. Nyai Hj. Umamah
2. KH. Muhammad Umar Sholeh
3. Abdul Haq (meninggal sejak kecil)
4. Nyai Rubi’ah
5. Nyai Sukainah
1. Nyai Hj. Umamah
2. KH. Muhammad Umar Sholeh
3. Abdul Haq (meninggal sejak kecil)
4. Nyai Rubi’ah
5. Nyai Sukainah
Sedangkan dari pernikahan beliau dengan Nyai Ummi Laila dikarunia 10 orang
keturunan, yaitu:
1. KH. Yusuf Harun
2. Nyai Tsuwaibah
3. Nyai Zaenab
4. Nyai Rohmah
5. Nyai Zubaedah
6. Nyai Hj. Mu’minah
7. Atikah (meninggal sejak kecil)
8. Utsman (meninggal sejak kecil)
9. Nyai. Hj. Afifah
10. Kyai Hasan Harun
1. KH. Yusuf Harun
2. Nyai Tsuwaibah
3. Nyai Zaenab
4. Nyai Rohmah
5. Nyai Zubaedah
6. Nyai Hj. Mu’minah
7. Atikah (meninggal sejak kecil)
8. Utsman (meninggal sejak kecil)
9. Nyai. Hj. Afifah
10. Kyai Hasan Harun
Setelah sekian tahun beliau mengabdikan diri di Pesantren Kempek sehingga berkembang pesat, Mbah Kyai Harun wafat karena
sakit pernapasan (ashma bronchitis) pada tanggal 23 Maret 1935 M (yaitu tahun
wau menurut kalender jawa). Beliau meninggalkan beberapa anak,
yaitu: Nyai Mu’minah, Nyai ‘Afifah dan Hasan.
Ribuan orang
yang mengantarkan kepergian beliau ketempat peristirahatan terakhir di Maqbaroh
Keluarga Kempek sebagai wujud bela sungkawa dan penghormatan serta kehilangan
atas orang ulama besar masa itu.
Kepemimpinan Pondok Pesantren Kempek kemudian diserahkan kepada
putra-putri dan menantu-menantu beliau, yaitu:
1. KH. Yusuf Harun (putra)
2. KH. Umar Sholeh (putra)
3. KH.Manshur Zubair, Losari
4. KH. Judi Ilyas, Surakarta
5. K. Muslim Mukhtar, Tegal
6. KH. Nashir Abu Bakar, Tegal
7. KH. Ma’shum Siroj, Gedongan
8. KH. ‘Aqil Siroj, Gedongan
9. KH. Anwar, Plered
10. KH. Abdullah Sabrori, Galagamba
11. Kyai Hasan Harun (putra)
1. KH. Yusuf Harun (putra)
2. KH. Umar Sholeh (putra)
3. KH.Manshur Zubair, Losari
4. KH. Judi Ilyas, Surakarta
5. K. Muslim Mukhtar, Tegal
6. KH. Nashir Abu Bakar, Tegal
7. KH. Ma’shum Siroj, Gedongan
8. KH. ‘Aqil Siroj, Gedongan
9. KH. Anwar, Plered
10. KH. Abdullah Sabrori, Galagamba
11. Kyai Hasan Harun (putra)
KH. Umar Sholeh (1922-1998)
Umar Mahdlor (Umar Sholeh) adalah anak ketiga dari
pasangan KH Harun Sholeh bin K Mustam (Kedondong, Cirebon) dan Ny. Mutimah
binti KH Nawawi (Babakan, Ciwaringin, Cirebon), dilahirkan di lingkungan Pondok
Pesantren Kempek, Kecamatan Gempol (dahulu Palimanan), Kabupaten Cirebon, pada
tanggal 12 Februari 1922. Sejak kecil Umar diasuh oleh kedua orang tuanya di
pesantren berciri khas Al-Qur’an dan ilmu alat hingga usia sekitar 25 tahun.
Setelah itu KH Umar Sholeh melanjutkan pendidikan di luar pesantren orang
tuanya, seperti ke Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Hidup berkeluarga
mulai dirajut KH Umar Sholeh pada usia hampir 35 tahun bersama Ny. Hindun binti
KH Munawwir bin Abdullah Rosyad (PP Krapyak, Yogyakarta) dan tidak dikaruniai
anak, namun di pernikahannya yang kedua bersama Ny ‘Aisyah binti KH Ahmad
Syathori (PP Arjawinangun, Cirebon) dikaruniai seorang anak bernama Muhammad
Nawawi Umar.
KH Umar Sholeh tidak pernah mengenyam pendidikan
formal. Pendidikan yang dijalaninya hanya pendidikan informal (dalam keluarga)
dan pendidikan nonformal (pesantren). Selain mempelajari kitab di beberapa
pesantren, dia pun belajar Al-Qur’an, namun ketertarikannya lebih kepada proses
belajar bin-nazar, bukan bil-gaib. Ketekunan dan semangat yang
tinggi dalam belajar Al-Qur’an menjadikannya memperoleh sanad (syahadah)
sampai kepada Rasulullah (dengan mata rantai sebanyak 36 sanad). Meskipun sudah
menjadi kiai dan berumah tangga, semangat KH Umar Sholeh dalam menuntut ilmu
tetap tinggi, dan tetap mengaji kitab Ihya Ulumuddin kepada Habib Syekh Syarif
(PP Jagastru, Cirebon).
Dalam keluarganya, KH Umar Sholeh dikenal sebagai
sosok suami, orang tua dan kakek yang penyayang. Kasih sayangnya saat mengasuh
istrinya sesekali dibumbui dengan senda gurau, baik di lingkungan rumahnya
maupun di luar rumah. Rasa kasih sayang KH Umar Sholeh terhadap anak semata
wayangnya (M. Nawawi Umar) tidak membuatnya sungkan untuk memberlakukan sanksi
jika anaknya melanggar peraturan di pesantrennya. Demikian seterusnya, rasa
kasih sayang yang diiringi dengan disiplin dan ketegasan dapat dilihat saat KH
Umar Sholeh berperilaku kepada cucu dan menantunya.
Kondisi politik dan ekonomi semasa hidup merupakan dua
faktor yang sangat mempengaruhi sikap dakwah KH Umar Sholeh. Dakwah bil-hal
lebih diutamakannya daripada dakwah bil-lisan. Kondisi politik yang pada
saat itu sedang hangat dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII),
sementara jalan-jalan rusak serta listrik belum tersebar luas, adalah dua
alasan mengapa KH Umar Sholeh lebih nyaman berdakwah dari pintu ke pintu (door
to door) daripada berdakwah secara terbuka.
Sebagai seorang kiai yang tidak pernah mengenyam
pendidikan formal, KH Umar Sholeh termasuk salah satu kiai yang cukup produktif
dalam menulis buku. Dalam perjalanan hidupnya sudah tujuh buku berisi
penjelasan dari berbagai masalah keilmuan yang ditemukannya saat membaca kitab.
Salah satu buku penjelasan tersebut ada yang memuat catatan-catatan hasil
telaahnya terhadap 14 kitab. Catatan-catatan itu jika diterbitkan tentu akan
menjadi karya besar seorang alim Cirebon, namun karena keterbatasan dana,
catatan-catatan tersebut belum diterbitkan. Sampai akhir hayatnya (1998), baru
dua buku karya KH Umar Sholeh yang berhasil diterbitkan. Buku pertama membahas
tentang qiraat Al-Qur’an dan buku kedua tentang soal-jawab yang ditulis dalam
bahasa Jawa.
KH.
Muhammad Nawawi Umar Sholeh
Putra tunggal KH. Umar Sholeh yaitu KH. Muhammad Nawawi Umar (akrab dipanggil Kang Em). Masa pendidikan Kang Em dijalani hanya dengan bimbingan ayahandanya. Ketika beliau berumur sekitar 25 tahun-an beliau mulai diaktifkan oleh Walid (ayahandanya) untuk membantu mengajar Al Qur an di pesantren, kemudian berangsur-angsur satu persatu kitab-kitab kajian wajib pesantren Kempek beliau pegang untuk menggantikan Walid ketika beliau udzur. Beliau telah mengajarkan dan memegang seluruh peninggalan Walid berupa pengajian-pengajian wajib di pesantren, mulai dari ngaji Al Qur an, Shorof Kempek sampai ngaji Fatchul Qorieb, Fatchul Mu'ien dan Fatchul Wahab dengan dibantu oleh keponakan-keponakan beliau.
Putra tunggal KH. Umar Sholeh yaitu KH. Muhammad Nawawi Umar (akrab dipanggil Kang Em). Masa pendidikan Kang Em dijalani hanya dengan bimbingan ayahandanya. Ketika beliau berumur sekitar 25 tahun-an beliau mulai diaktifkan oleh Walid (ayahandanya) untuk membantu mengajar Al Qur an di pesantren, kemudian berangsur-angsur satu persatu kitab-kitab kajian wajib pesantren Kempek beliau pegang untuk menggantikan Walid ketika beliau udzur. Beliau telah mengajarkan dan memegang seluruh peninggalan Walid berupa pengajian-pengajian wajib di pesantren, mulai dari ngaji Al Qur an, Shorof Kempek sampai ngaji Fatchul Qorieb, Fatchul Mu'ien dan Fatchul Wahab dengan dibantu oleh keponakan-keponakan beliau.
Pada tahun itu pula, beliau menikah dengan salah
seorang putri bibi beliau, Nyai Hj. ‘Izzah Syathori, yang bernama “Afwah
Mumtazzah” Pernikahan KH. Muhammad Nawawi Umar dengan Nyai Hj. Afwah Mumtazah
S.Ag sampai saat ini telah dikaruniai dua orang keturunan yaitu:
1. Aufa Nadja Nawafy Zaen (Nada).
2. Sholah Mafaza Muhammad (Ezza).
1. Aufa Nadja Nawafy Zaen (Nada).
2. Sholah Mafaza Muhammad (Ezza).
Inilah Generasi Penerus Pengasuh Pondok Pesantren Kempek